Hingga Butir Nasi Terakhir
Publikasi: 16/10/2003 10:44 WIB
eramuslim - Setelah menunggu hampir satu jam, akhirnya
datang juga bis yang akan membawaku keluar dari kota
Jakarta yang semakin hari kurasakan semakin sesak ini.
Dua hari libur pada akhir pekan ini akan kumanfaatkan
untuk sekedar mengganti suasana, sekilas menghilangkan
pemandangan gedung bertingkat dengan tingginya pohon
kelapa, udara yang padat dengan racun, sejenak
berganti udara yang masih sejuk bila dihirup
dalam-dalam, aku akan lupakan hitamnya kepulan asap
dari bis kota dengan warna hijau rerumputan dan
pepohonan. Aahhh… tak sabar aku, kenapa bis ini lama
sekali ngetemnya…
Alhamdulillah, akhirnya bis mulai bergerak. Ternyata
cukup banyak juga orang yang akan bepergian hari ini.
Entah karena ingin mencari suasana baru sepertiku,
atau memang hal ini sudah rutin mereka lakukan. Atau
mungkin rumah mereka memang di luar kota, mencari
nafkah di Jakarta, sehingga harus rela pulang-pergi
tiap hari.
Sejam-dua jam, nuansa yang kunantikan mulai terlihat.
Hamparan sawah terbentang luas di sisi kanan bis yang
aku tumpangi ini. Hey… tapi kenapa warnanya sayu
begitu? Dari sekian luas sawah yang kulihat, hampir
seluruhnya berwarna kecoklatan. Hanya sedikit saja
yang masih menampakkan warna hijau segar. Dampak
kekeringan beberapa bulan terakhir betul-betul kulihat
saat ini.
“Kasihan Pak Tani ya dik….”, tiba-tiba Bapak yang
duduk di sebelahku berkomentar. Segera kualihkan
pandanganku pada penumpang yang membuatku kaget ini.
Seorang bapak yang sudah cukup umur, rupanya. Kutaksir
usianya sekitar 50 tahunan, terlihat dari
guratan-guratan lelah di wajahnya.
“Iya Pak, kasihan”, jawabku. “Mereka sudah capek-capek
menanam, ternyata panennya gagal karena kekeringan”.
“Bukan itu maksud bapak dik,” ujar si bapak sambil
memandangku. “Bukan kekeringan itu yang bapak kasihani
dari para petani itu.”
Lho? Bukan kekeringan? Lalu apa?
Seakan menyadari kebingunganku, si bapak melanjutkan
bicaranya. “Begini. Kalau kekeringan, bagi para petani
hal itu sudah biasa mereka hadapi. Mereka tahu betul
resiko itu.”
Sejenak si bapak terdiam. Aku makin tak sabar menunggu
penjelasannya.
“Bapak sudah lebih dari sepuluh tahun bekerja di
sebuah restoran sebagai petugas kebersihan, dik.
Selama bapak bekerja, semakin bapak sadar bahwa kita
sering sekali menyepelekan pekerjaan para petani itu.
Kita sama sekali tidak menghargai jerih payah mereka
mencangkul sawah seharian, memupuki tanaman padi,
merawatnya supaya kelak menghasilkan padi yang baik…”
jelasnya.
Aku masih saja tak menangkap maksud pembicaraan ini.
“Tidak menghargai bagaimana pak?”
“Setiap hari, restoran tempat bapak bekerja
menghabiskan ratusan kilogram beras, untuk ditanak
menjadi nasi. Setiap hari pula bapak harus rela
menyaksikan berpuluh kilogram nasi yang dibuang begitu
saja, karena para tamu tidak menghabiskannya. Saat
membuang nasi itu, hati bapak miris, dik.
Berulang-ulang bapak mohon ampun pada Gusti Allah.
Berkali-kali bapak mengucap istighfar, karena bapak
melihat sebuah kesia-siaan, satu bentuk pengingkaran
nikmat yang luar biasa. Kadang-kadang, Bapak
membayangkan mendengar tangisan butiran-butiran nasi
itu, seperti yang Bapak sering ajarkan pada anak
bapak, kalau tidak menghabiskan makannya...”
Aku tercekat. Entah kenapa wajahku serasa ditampar
keras sekali.
“Saat itulah terlintas di pikiran bapak, wajah para
petani yang bermandi peluh, sekujur badan hitam legam
terbakar sinar matahari, tidak sedikit tenaga mereka
terkuras untuk mencangkul sawahnya. Tak lain tak bukan
mereka lakukan itu supaya mereka bisa memenuhi
kebutuhan makanan bagi semua orang dan juga kebutuhan
mereka sendiri, dik. Tapi ternyata, kita yang tinggal
enaknya saja, tak perlu membanting tulang seperti itu,
sama sekali tidak menghargai kerja keras para petani
itu. Kita sama sekali tidak mau menghargai setiap
butir nasi yang kita makan. Menyia-nyiakan nasi, sudah
menjadi hal yang biasa saja bagi kita.”
Kini aku yang terdiam. Apa yang disampaikan si bapak,
itulah yang kulakukan setiap hari. Ya, menyisakan nasi
di piring seakan sudah menjadi hal yang biasa bagiku.
Bahkan jika ada yang makan sampai piringnya bersih tak
tersisa, berbagai julukan menghujaninya. Rakus lah,
doyan lah, dan ejekan lain yang sungguh memalukan,
tanpa mereka sadari, siapa sebenarnya yang memalukan.
“Dik…” si bapak menepuk bahuku, membuyarkan lamunanku.
“Bapak turun sebentar lagi.”
“Ohya Pak… hati-hati Pak… dan terimakasih
nasihatnya..” jawabku sambil menjawab uluran
tangannya. Senyum renyahnya mengakhiri pertemuan kami
hari itu. Sesaat kemudian bis berhenti, dan si bapak
bergegas turun. Saat itulah aku sadar kalau aku belum
menanyakan namanya. Ah… bapak itu juga tidak
menanyakan namaku, ujarku dalam hati.
Tak lama berselang, bis berhenti di sebuah rumah makan
yang cukup besar. Rasa lapar mendadak menyerangku.
Tiga jam perjalanan sudah kulalui, dan perut ini
ternyata sudah mulai bergerak meminta bagiannya. Aku
dan beberapa penumpang lainnya bersama-sama memasuki
rumah makan. Kupilih tempat duduk dekat jendela, dan
memesan makanan, yang dalam waktu singkat telah siap
disantap.
Saat hendak memulai makan dan melihat nasi di piring,
dan nasihat si bapak di bis tadi kembali terngiang.
Bergantian kupandangi nasi dan hamparan sawah melalui
jendela restoran. Saat itulah aku bersyukur. Melalui
si bapak itu, Allah telah berkenan untuk menegurku,
bukan hanya karena aku tak tahu, pada butir nasi yang
mana berkahNya akan diturunkan, bukan pula hanya
karena salah satu perwujudan rasa syukur atas karunia
dan rizkiNya. Namun menghabiskan hidangan yang ada,
hingga butir nasi yang terakhir, merupakan salah satu
cara kita berterima kasih pada para petani, yang tanpa
kenal lelah, telah berusaha mempersembahkan hasil
kerja terbaiknya pada kita. Tanpa keras keras mereka,
sulit bagi kita untuk bisa menikmati nasi yang pulen
dan lezat ini.
Sungguh, suatu cara yang mudah untuk menghargai jerih
payah dan segala letih lelah mereka, yaitu dengan
menghabiskan hidangan tanpa sisa. Bukan rakus, bukan
kemaruk, bukan pula kelaparan.