Seperti sebuah tiupan angin, lembut dan mengantarkan kesejukan.
Angin, sesuatu hal yang abstrak tapi ketika dia sudah bertindak kasar, jangankan segundukan gunung pasir yang tinggi, bahkan gedung angkuh dan menara pencakar langit bisa luluh lantak tanpa sisa.
Demikian pula cinta, ia ditakdirkan sebagai satu benda tanpa bentuk, nama untuk beragam perasaan, judul untuk semua gemuruh hati, muara dari berjuta makna, wakil dari harapan tak terkira, kekuatan tak terartikan.
Kisah itu pun bermuara pada jatuh cinta, suatu peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian manusia sepanjang masa.
Cinta, mampu mengubah seorang pengecut jadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut, yang lemah jadi kuat.
Cinta merajut emosi manusia, begitu agung bahkan rumit sekaligus.
Maka syair Rabiah al adawiyah, Rumi, Iqbal Tagore, Kahlil Gibran, sampai legenda Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya, Cinderella menjadi begitu abadi tersimpan di dalam lembar sejarah hidup manusia.
Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya... seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayapnya yang Patah.
Sebuah kisah dari sang raja yang galau karena sang putra mahkotanya ternyata seorang pemuda, apatis, dan tak berbakat.
Suatu saat raja mencoba mengubah pribadi putranya dengan kata kunci: "The power of love". Sang raja kemudian mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah menjadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah sesuatu yang diharapkan, putranya jatuh cinta dengan seseorang diantara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan, "Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya ,"Aku tidak cocok untukmu, Aku hanya cocok untuk seseorang raja atau seseorang yang berbakat menjadi raja."
Benar saja, putera mahkota seketika tertantang. Maka ia pun mempelajari segala hal yang harus diketahui oleh seorang raja dan ia pun melatih diri menjadi seorang raja. Dan seketika luar biasa, bakat seorang raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata ia bisa! Dan semua karena cinta.
Cinta telah bekerja dalam jiwanya, sempurna. Dan memang selalu begitu, menggali jiwa manusia ke dalam, terus mendalam, sampai mata air keluhuran hati ditemukannya. Maka dari sana menyeruak luar biasa semua potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dari sana, mata air keluhuran mengalir deras, membanjir dan desak mendesak hingga bermuara pada perbaikan watak dan penghalusan jiwa.
Cinta membuat manusia jadi manusia, dan memperlakukan manusia di tempat kemanusiaan yang tinggi.
Kalau cinta kita kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia, hewan, tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan untuk yang kita cintai. Dengan kata lain, cinta suci harus mampu membawa sesuatu yang dicintai pada kebaikan, pada hakikat cinta sejati, pada cinta Allah yang abadi. Jatuh cinta membuat manusia merendah, tapi sekaligus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.
"Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa, tanpa gerak, tanpa daya hidup, tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka dan syahwat." (Annis Matta)
Seperti itu pulalah cinta bekerja ketika harus memenangkan Allah atas diri sendiri dan yang lain, atau memenangkan iman atas syahwat.
Sebuah kisah pemuda kufa ahli ibadah, hingga suatu saat ia jatuh cinta pada seorang gadis, dan cintanya berbalas. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya,"Aku datang padamu, atau kuatur cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku", begitu penjelasan sesatnya.
"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" itu jawaban sang pemuda sekaligus membuat sang gadis terhenyak. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?", gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan tiba-tiba dunia terasa kerdil di hadapannya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan diri untuk beribadah. Tapi cintanya pada pemuda tidak mati. Cintanya berubah menjadi rindu yang berkelana dalam jiwa dan do'a-do'anya. Tubuhnya luluh latak didera rindu, dan akhirnya ia meninggal.
Sang pemuda terhentak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do'a-do'anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas pusara sang gadis. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya, cantik, sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku?" tanya sang gadis.
"Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana,"jawabnya sembari balik bertanya. "Aku di sini dalam surga yang abadi, dalam nikmat hidup tanpa akhir." Jawab sang gadis. "Do'akan aku, jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu", tanya pemuda lagi.
"Aku tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdo'a agar Allah menyatukan kita di surga, teruslah ibadah. Sebentar lagi engkau akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Atas nama cinta, ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, atas nama cinta pula Allah akan mempertemukan mereka, dan cinta bekerja dengan cara itu.
Tersebutlah kisah Umar bin Abdul Azis, seorang ulama, seorang mujtahid. Ia besar di lingkungan istana megah bani Umayyah, dan hidup dengan gaya hidup mereka bukan gaya hidup ulama. Shalat jama'ah pun kadang ditinggalkannya, lantaran belum selesai menyisir rambut. Tapi begitu ia menjadi khalifah, ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan mengubah dinasti bani Umayyah. "Aku takut pada neraka", katanya menjelaskan rahasia perubahannya pada Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar dalam dirinya, istrinya, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruhnya. Kerja keras, walaupun hanya 2 tahun 5 bulan tapi membuahkan hasil luar biasa. Ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa'ur Rasyidin.
Tapi semuanya ada harganya, fisiknya anjlok..Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; ia menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahi. Seorang gadis yang sudah lama dicintai dan sangat diinginkannya, begitu pun sebaliknya sang gadis.
Ironisnya, Fatimah istrinya, tidak pernah mengizinkan, atas nama cinta dan cemburu. Tapi sekarang justru sang istrinyalah yang membawa hadiah kepadanya. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru.
Kenangan romantika sebelum perubahan, bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwa. Tapi saat cinta hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahan belum usai ditunaikan.
Cinta dan cita bertemu muka dan bertarung dalam pelataran hati sang Pembaharu.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, "Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya kembali kepada dunia perasaan semacam itu," kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran hingga berakhir di puncak keagungan.
Umar memenangkan cinta yang lain., karena memang ada cinta di atas cinta.
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya, "Umar, dulu kamu pernah mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?. " Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya lebih dalam!".
Cinta di atas cinta, dan adakah yang lebih mulia cintanya dari suatu Zat yang begitu mencintai kita?, yang tak pernah meninggalkan kita di saat kita galau dan bimbang. Cinta, semuanya atas nama cinta, bukanlah suatu hal yang salah apalagi tercela. Ia mampu mengangkat manusia menduduki posisi paling agung, ketika sang manusia mampu menempatkannya pada posisi terhormat di relung hatinya.
Allah memberikan kesempatan pada kita untuk menghirup dunia ini, itu atas cinta Allah pada kita. Allah telah menciptakan kita begitu sempurna, memberikan kita raga begitu rupa, memberikan kita waktu begitu raya, memberikan semuanya begitu berharga.
Allah pulalah yang selalu di sisi kita, melihat kita, mendengar kita, membimbing kita menuntun kita walau kita kadang luput untuk mengingat-Nya. Allah pulalah yang selalu hadir dalam kesendirian kita, di saat kita tersudut dalam keperihan, di saat kita terpuruk dalam kedukaan, di saat semua lupa pada kita.
Allah pulalah satu-satunya yang tak pernah mengecewakan kita atas sesuatu hal yang kita harap. Allah-lah satu-satunya yang Maha Pemberi terbaik bagi hamba-hambanya. Begitu besarnya cinta Allah kepada kita, tak tertandingi seluas langit dan bumi pun. Apakah kita, manusia, masih mampu menggantikan cinta-Nya dengan seorang hamba manapun yang lemah dan papa.....?
Angin, sesuatu hal yang abstrak tapi ketika dia sudah bertindak kasar, jangankan segundukan gunung pasir yang tinggi, bahkan gedung angkuh dan menara pencakar langit bisa luluh lantak tanpa sisa.
Demikian pula cinta, ia ditakdirkan sebagai satu benda tanpa bentuk, nama untuk beragam perasaan, judul untuk semua gemuruh hati, muara dari berjuta makna, wakil dari harapan tak terkira, kekuatan tak terartikan.
Kisah itu pun bermuara pada jatuh cinta, suatu peristiwa paling penting dalam sejarah kepribadian manusia sepanjang masa.
Cinta, mampu mengubah seorang pengecut jadi pemberani, yang pelit jadi dermawan, yang malas jadi rajin, yang pesimis jadi optimis, yang kasar jadi lembut, yang lemah jadi kuat.
Cinta merajut emosi manusia, begitu agung bahkan rumit sekaligus.
Maka syair Rabiah al adawiyah, Rumi, Iqbal Tagore, Kahlil Gibran, sampai legenda Romeo dan Juliet, Siti Nurbaya, Cinderella menjadi begitu abadi tersimpan di dalam lembar sejarah hidup manusia.
Bahkan penderitaan akibat kekecewaan kadang terasa manis karena cinta yang melatarinya... seperti Gibran yang kadang terasa menikmati Sayap-sayapnya yang Patah.
Sebuah kisah dari sang raja yang galau karena sang putra mahkotanya ternyata seorang pemuda, apatis, dan tak berbakat.
Suatu saat raja mencoba mengubah pribadi putranya dengan kata kunci: "The power of love". Sang raja kemudian mendatangkan gadis-gadis cantik ke istananya. Istana pun seketika berubah menjadi taman: semua bunga mekar di sana. Dan terjadilah sesuatu yang diharapkan, putranya jatuh cinta dengan seseorang diantara mereka. Tapi kepada gadis itu raja berpesan, "Kalau puteraku menyatakan cinta padamu, bilang padanya ,"Aku tidak cocok untukmu, Aku hanya cocok untuk seseorang raja atau seseorang yang berbakat menjadi raja."
Benar saja, putera mahkota seketika tertantang. Maka ia pun mempelajari segala hal yang harus diketahui oleh seorang raja dan ia pun melatih diri menjadi seorang raja. Dan seketika luar biasa, bakat seorang raja meledak dalam dirinya. Ia bisa, ternyata ia bisa! Dan semua karena cinta.
Cinta telah bekerja dalam jiwanya, sempurna. Dan memang selalu begitu, menggali jiwa manusia ke dalam, terus mendalam, sampai mata air keluhuran hati ditemukannya. Maka dari sana menyeruak luar biasa semua potensi kebaikan dan keluhuran dalam dirinya. Dari sana, mata air keluhuran mengalir deras, membanjir dan desak mendesak hingga bermuara pada perbaikan watak dan penghalusan jiwa.
Cinta membuat manusia jadi manusia, dan memperlakukan manusia di tempat kemanusiaan yang tinggi.
Kalau cinta kita kepada Allah membuat kita mampu memenangkan Allah dalam segala hal, maka cinta kepada manusia, hewan, tumbuhan atau apa saja, mendorong kita mempersembahkan semua kebaikan yang diperlukan untuk yang kita cintai. Dengan kata lain, cinta suci harus mampu membawa sesuatu yang dicintai pada kebaikan, pada hakikat cinta sejati, pada cinta Allah yang abadi. Jatuh cinta membuat manusia merendah, tapi sekaligus bertekad penuh untuk menjadi lebih terhormat.
"Kamu takkan pernah sanggup mendaki sampai ke puncak gunung iman, kecuali dengan satu kata: cinta. Imanmu hanyalah kumpulan keyakinan semu dan beku, tanpa nyawa, tanpa gerak, tanpa daya hidup, tanpa daya cipta. Kecuali ketika ruh cinta menyentuhnya. Seketika ia hidup, bergeliat, bergerak tanpa henti, penuh vitalitas, penuh daya cipta, bertarung dan mengalahkan diri sendiri, angkara murka dan syahwat." (Annis Matta)
Seperti itu pulalah cinta bekerja ketika harus memenangkan Allah atas diri sendiri dan yang lain, atau memenangkan iman atas syahwat.
Sebuah kisah pemuda kufa ahli ibadah, hingga suatu saat ia jatuh cinta pada seorang gadis, dan cintanya berbalas. Bahkan ketika lamaran sang pemuda ditolak karena sang gadis telah dijodohkan dengan saudara sepupunya, mereka tetap nekat. Gadis itu bahkan menggoda kekasihnya,"Aku datang padamu, atau kuatur cara supaya kamu bisa menyelinap ke rumahku", begitu penjelasan sesatnya.
"Tidak! Aku menolak kedua pilihan itu. Aku takut pada neraka yang nyalanya tak pernah padam!" itu jawaban sang pemuda sekaligus membuat sang gadis terhenyak. Pemuda itu memenangkan iman atas syahwatnya dengan kekuatan cinta. "Jadi dia masih takut pada Allah?", gumam sang gadis. Seketika ia tersadar, dan tiba-tiba dunia terasa kerdil di hadapannya. Ia pun bertaubat dan kemudian mewakafkan diri untuk beribadah. Tapi cintanya pada pemuda tidak mati. Cintanya berubah menjadi rindu yang berkelana dalam jiwa dan do'a-do'anya. Tubuhnya luluh latak didera rindu, dan akhirnya ia meninggal.
Sang pemuda terhentak. Itu mimpi buruk. Gadisnya telah pergi membawa semua cintanya. Maka kuburan sang gadislah tempat ia mencurahkan rindu dan do'a-do'anya. Sampai suatu saat ia tertidur di atas pusara sang gadis. Tiba-tiba sang gadis hadir dalam tidurnya, cantik, sangat cantik. "Apa kabar? Bagaimana keadaanmu setelah kepergianku?" tanya sang gadis.
"Baik-baik saja. Kamu sendiri di sana bagaimana,"jawabnya sembari balik bertanya. "Aku di sini dalam surga yang abadi, dalam nikmat hidup tanpa akhir." Jawab sang gadis. "Do'akan aku, jangan pernah lupa padaku. Aku selalu ingat padamu. Kapan aku bisa bertemu denganmu", tanya pemuda lagi.
"Aku tidak pernah lupa padamu. Aku selalu berdo'a agar Allah menyatukan kita di surga, teruslah ibadah. Sebentar lagi engkau akan menyusulku," jawab sang gadis. Hanya tujuh malam setelah mimpi itu, sang pemuda pun menemui ajalnya. Atas nama cinta, ia memenangkan Allah atas dirinya sendiri, atas nama cinta pula Allah akan mempertemukan mereka, dan cinta bekerja dengan cara itu.
Tersebutlah kisah Umar bin Abdul Azis, seorang ulama, seorang mujtahid. Ia besar di lingkungan istana megah bani Umayyah, dan hidup dengan gaya hidup mereka bukan gaya hidup ulama. Shalat jama'ah pun kadang ditinggalkannya, lantaran belum selesai menyisir rambut. Tapi begitu ia menjadi khalifah, ia pun bertaubat. Sejak itu ia bertekad untuk berubah dan mengubah dinasti bani Umayyah. "Aku takut pada neraka", katanya menjelaskan rahasia perubahannya pada Al-Zuhri.
Ia memulai perubahan besar dalam dirinya, istrinya, anak-anaknya, keluarga kerajaan, hingga seluruhnya. Kerja keras, walaupun hanya 2 tahun 5 bulan tapi membuahkan hasil luar biasa. Ia berhasil menggelar keadilan, kemakmuran dan kejayaan serta nuansa kehidupan zaman Khulafa'ur Rasyidin.
Tapi semuanya ada harganya, fisiknya anjlok..Saat itulah istrinya datang membawa kejutan besar; ia menghadiahkan seorang gadis kepada suaminya untuk dinikahi. Seorang gadis yang sudah lama dicintai dan sangat diinginkannya, begitu pun sebaliknya sang gadis.
Ironisnya, Fatimah istrinya, tidak pernah mengizinkan, atas nama cinta dan cemburu. Tapi sekarang justru sang istrinyalah yang membawa hadiah kepadanya. Fatimah hanya ingin memberikan dukungan moril kepada suaminya.
Itu saat terindah dalam hidup Umar, sekaligus saat paling mengharu biru.
Kenangan romantika sebelum perubahan, bangkit kembali dan menyalakan api cinta yang dulu pernah membakar segenap jiwa. Tapi saat cinta hadir di jalan pertaubatannya, ketika cita-cita perubahan belum usai ditunaikan.
Cinta dan cita bertemu muka dan bertarung dalam pelataran hati sang Pembaharu.
Apa yang salah kalau Umar menikahi gadis itu? Tidak ada! Tapi, "Tidak! Ini tidak boleh terjadi. Saya benar-benar tidak merubah diri saya kalau saya kembali kepada dunia perasaan semacam itu," kata Umar.
Cinta yang terbelah dan tersublimasi di antara kesadaran hingga berakhir di puncak keagungan.
Umar memenangkan cinta yang lain., karena memang ada cinta di atas cinta.
Akhirnya ia menikahkan gadis itu dengan pemuda lain.
Tidak ada cinta yang mati di sini. Karena sebelum meninggalkan rumah Umar, gadis itu bertanya, "Umar, dulu kamu pernah mencintaiku. Tapi kemanakah cinta itu sekarang?. " Umar bergetar haru, tapi ia kemudian menjawab, "Cinta itu masih tetap ada, bahkan kini rasanya lebih dalam!".
Cinta di atas cinta, dan adakah yang lebih mulia cintanya dari suatu Zat yang begitu mencintai kita?, yang tak pernah meninggalkan kita di saat kita galau dan bimbang. Cinta, semuanya atas nama cinta, bukanlah suatu hal yang salah apalagi tercela. Ia mampu mengangkat manusia menduduki posisi paling agung, ketika sang manusia mampu menempatkannya pada posisi terhormat di relung hatinya.
Allah memberikan kesempatan pada kita untuk menghirup dunia ini, itu atas cinta Allah pada kita. Allah telah menciptakan kita begitu sempurna, memberikan kita raga begitu rupa, memberikan kita waktu begitu raya, memberikan semuanya begitu berharga.
Allah pulalah yang selalu di sisi kita, melihat kita, mendengar kita, membimbing kita menuntun kita walau kita kadang luput untuk mengingat-Nya. Allah pulalah yang selalu hadir dalam kesendirian kita, di saat kita tersudut dalam keperihan, di saat kita terpuruk dalam kedukaan, di saat semua lupa pada kita.
Allah pulalah satu-satunya yang tak pernah mengecewakan kita atas sesuatu hal yang kita harap. Allah-lah satu-satunya yang Maha Pemberi terbaik bagi hamba-hambanya. Begitu besarnya cinta Allah kepada kita, tak tertandingi seluas langit dan bumi pun. Apakah kita, manusia, masih mampu menggantikan cinta-Nya dengan seorang hamba manapun yang lemah dan papa.....?